

Probolinggo, Patroli e-news – Suasana haru bercampur tegang menyelimuti Dusun Patemon, Desa Alaspandan, Kecamatan Pakuniran, Kabupaten Probolinggo, Rabu (15/10/2025). Hari itu, pelaksanaan eksekusi lahan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) akhirnya dijalankan oleh pihak pengadilan.
Deru ekskavator memecah pagi yang hening. Pasukan Dalmas tampak berjaga ketat di sekitar lokasi, memastikan proses eksekusi berjalan aman dan tertib. Setelah amar putusan dibacakan di depan rumah yang menjadi objek perkara, alat berat mulai bergerak melaksanakan eksekusi. Beberapa petugas berseragam membawa chainsaw, menebangi pohon-pohon yang berdiri di atas lahan sengketa.
Namun, yang paling menggetarkan hati bukanlah suara mesin atau robohnya bangunan, melainkan pemandangan memilukan ketika makam-makam keluarga keturunan almarhum Saisin yang telah puluhan tahun bersemayam di tanah itu ikut digusur. Satu per satu nisan dibongkar. Jenazah bayi, anak-anak, hingga orang dewasa yang telah lama beristirahat dengan tenang, terpaksa dipindahkan.
Nama-nama seperti Pak Moden, Sina, Bu Yamin, dan Saisin disebut satu per satu oleh warga yang menahan haru. Sementara satu makam lainnya bahkan tak lagi memiliki nama. Semua jenazah dikafani ulang dengan hormat, untuk kemudian dipindahkan ke tempat baru—sebuah simbol perpisahan yang tidak pernah diinginkan.
Prayuda, selaku advokat pihak terlapor, tidak menentang pelaksanaan eksekusi. Ia menghormati hukum, namun tetap menegaskan bahwa pelaksanaan harus sesuai dengan isi putusan. Ia menduga terdapat ketidaksesuaian antara objek perkara dan amar keputusan, yang bisa membuat putusan tersebut sebenarnya non executable.
Dengan tenang, Yudha membawa kitab Undang-Undang ke lokasi, bukan untuk menantang, tetapi untuk mengingatkan. Ia berharap semua pihak, termasuk pengadilan, mau kembali duduk bersama dan membaca ulang isi keputusan tersebut. “Hukum seharusnya membawa keadilan, bukan luka,” ucapnya lirih di sela suara mesin yang terus menderu.
Di tengah debu dan reruntuhan, warga sekitar hanya bisa menatap dengan mata berkaca-kaca. Bukan hanya rumah yang rata dengan tanah, tapi juga kenangan, silsilah, dan jejak leluhur yang terpaksa ikut dipindahkan. Hari itu, Dusun Patemon menjadi saksi bahwa bahkan mereka yang telah tiada pun belum tentu bisa beristirahat dengan tenang”( tim patroli group, Arifin,St,Ma )







